Tampilkan postingan dengan label guru penggerak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru penggerak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 September 2021

Koneksi Antar Materi : Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Sekolah sebagai ekosistem adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik dan abiotik yang menciptakan hubungan selaras dan harmonis. Unsur biotik terdiri dari murid, kepala sekolah, guru, staff TU, pengawas sekolah, orang tua dan masyarakat lingkungan sekitar. Sedangkan faktor abiotik yaitu keuangan, sarana dan prasarana.Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi ibarat siklus makanan.

Dalam mengelola sumber daya, ada 2 pendekatan yang mungkin diterapkan oleh seorang pemimpin yaitu :

1. Pendekatan berbasis kekurangan (defisit based thinking)

2. Pendekatan berbasis kekuatan (asset based thinking)

Berbasis pada kekurangan/masalah/hambatan

Berbasis pada aset

Fokus pada masalah dan isu

Fokus pada aset dan kekuatan

Berkutat pada masalah utama

Membayangkan masa depan

Mengidentifikasi kebutuhan dan kekurangan – selalu bertanya apa yang kurang?

Berpikir tentang kesuksesan yang telah diraih dan kekuatan untuk mencapai kesuksesan tersebut.

Fokus mencari bantuan dari sponsor atau institusi lain

Mengorganisasikan kompetensi dan sumber daya (aset dan kekuatan)

Merancang program atau proyek untuk menyelesaikan masalah

Merancang sebuah rencana berdasarkan visi dan kekuatan

Mengatur kelompok yang dapat melaksanakan proyek

Melaksanakan rencana aksi yang sudah diprogramkan

(Green & Haines, 2010)

Jika menggunakan pendekatan asset based thinking, akan sejalan dengan model inkuiri apresiatif yang sudah kita pelajari. Inkuiri Apresiatif (IA) adalah sebuah paradigma untuk melihat sesuatu fokus pada kekuatan. 

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. PKBA menekankan pada nilai prinsip dan cara berfikir mengenai dunia yaitu memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Sekolah dapat disebut komunitas karena berdasarkan definisi komunitas adalah kelompok sosial yang nyata yang terdiri dari kumpulan individu dengan berbagai peran dan latar belakang yang mempunyai satu tujuan tertentu yaitu  tujuan pendidikan. Atau sekolah juga dapat disebut miniatur sebuah tatanan masyarakat di daerah tertentu. Sehingga pendekatan PKBA dapat diimplementasikan dalam pendekatan Pengembangan Sekolah Berbasis Aset.

Ada 7 aset/modal utama sekolah yaitu :

1. Modal manusia

2. Modal sosial

3. Modal fisik

4. Modal lingkungan

5. Modal finansial

6. Modal politik

7. Modal agama dan budaya

Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya

Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang dimiliki oleh sekolah untuk mewujudkan merdeka belajar. Dengan memanfaatkan sumber daya, pembelajaran semakin berkualitas dan tumbuh kembang murid dapat ditingkatkan secara optimal.

Selain itu, harus adanya kolaborasi berbagai pihak sekolah terkait sumber daya yang ada, memetakan aset-aset tersebut dan mengelolanya dengan optimal sehingga terwujud visi dan misi sekolah. 

Keterkaitan Materi dengan Modul Sebelumnya

Mari kita simak poin penting tsb yaitu :

1. Paradigma Inkuiri Apresiatif fokus pada penggalian kekuatan dan inti positif serta meyakini bahwa setiap individu memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi untuk keberhasilan berdasarkan tahapan BAGJA 

2. Konsep pemikiran KHD tentang kodrat alam dan zaman, bahwa murid tumbuh dengan kodratnya masing-masing, pendidik hanya menuntun dan merawat tumbuh kembangnya agar bisa optimal.

"Maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat'

3. Pengelolaan sumber daya berbasis aset (asset based thinking) menurut Kattery Crammer adalah kekuatan berfikir positif untuk mengembangkan diri yaitu berfokus pada pengembangan positif dan aset yang dimiliki komunitas

4. Nilai dan Peran Guru Penggerak

5. Budaya Positif yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di sekolah

Dari poin-poin tersebut terdapat korelasi yaitu guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran harus mampu menuntun dan merawat tumbuh kembangnya kekuatan positif dari dalam diri anak dan mampu menggali serta fokus pada setiap kelebihan-kelebihan yang ada untuk kemudian menjadi modal dasar pengembangan potensi anak sehingga tercipta murid yang merdeka belajar. Sekolah yang menerapkan budaya positif akan semakin menguatkan dan mempertegas arah tujuan pendidikan yang berpusat pada murid.

Perubahan Pikiran Sebelum dan Sesudah Mempelajari Materi Ini

Sebelum mendapatkan materi ini, saya merasa sekolah belum memiliki aset yang banyak dan terkadang masih pesimis melihat keadaan sekolah, mungkin karena saya masih memandang sekolah berbasis kekurangan. Namun setelah mendapatkan materi ini, mata saya terbuka dan menyadari begitu banyak aset sekolah yang bisa diberdayakan menjadi modal pengembangan pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas


Rancangan Tindakan Aksi Nyata Modul 3.2







Minggu, 19 September 2021

Modul 1.4 Budaya Positif

 Urgensi Budaya Positif di Sekolah

Silahkan klik link video di sini

Dari video mengenai potret budaya sekolah, kita dapat mempelajari budaya sekolah yang berdampak baik pada pengembangan karakter murid. Aktivitas guru mengajak murid berkeliling sekolah untuk mengamati lingkungan sekolah dapat membuat murid menganalisis permasalahan yang terjadi di sekolah dan mendiskusikan solusinya. Aktivitas tersebut menumbuhkan karakter bernilai kritis pada murid. Nah, dengan demikian kita memahami bahwa sekolah merupakan institusi pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya positif perlu diciptakan agar dapat mendukung pembentukan karakter murid yang diharapkan.

“Adapun maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” 
(dikutip dari buku Ki Hajar Dewantara seri 1 pendidikan halaman 20)

Kutipan tersebut mengisyaratkan kita sebagai guru untuk membangun komunitas di sekolah untuk menyiapkan murid di masa depan agar menjadi manusia berdaya tidak hanya untuk pribadi tapi berdampak pada masyarakat.

Pertanyaannya sekarang adalah karakter seperti apa yang bisa menyiapkan murid menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan seperti tujuan pendidikan sendiri. Jika kita mengacu pada Profil Pelajar Pancasila, “Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.” Pelajar yang memiliki profil yang demikian itu adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.

 Pelajar Indonesia


Pelajar Indonesia adalah pelajar yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaannya termanifestasi dalam akhlak yang mulia terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam, dan negaranya. Ia berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan sebagai panduan untuk memilah dan memilih yang baik dan benar, bersikap welas asih pada ciptaan-Nya, serta menjaga integritas dan menegakkan keadilan. 

Pelajar Indonesia senantiasa berpikir dan bersikap terbuka terhadap kemajemukan dan perbedaan, serta secara aktif berkontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan manusia sebagai bagian dari warga Indonesia dan dunia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Pelajar Indonesia memiliki identitas diri merepresentasikan budaya luhur bangsanya. Ia menghargai dan melestarikan budayanya sembari berinteraksi dengan berbagai budaya lainnya. Ia peduli pada lingkungannya dan menjadikan kemajemukan yang ada sebagai kekuatan untuk hidup bergotong royong. 

Pelajar Indonesia merupakan pelajar yang mandiri. Ia berinisiatif dan siap mempelajari hal-hal baru, serta gigih dalam mencapai tujuannya. Pelajar Indonesia gemar dan mampu bernalar secara kritis dan kreatif. Ia menganalisis masalah menggunakan kaidah berpikir saintifik dan mengaplikasikan alternatif solusi secara inovatif. Ia aktif mencari cara untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri dan bersikap reflektif agar dapat terus mengembangkan diri dan berkontribusi kepada bangsa, negara, dan dunia.

Tujuan utama dari pendidikan karakter juga bukan hanya mendorong murid untuk sukses secara moral maupun akademik di lingkungan sekolah, tetapi juga untuk menumbuhkan moral yang baik pada diri murid ketika sudah terlibat di dalam masyarakat

Membangun karakteristik seseorang bukanlah hal yang mudah, bahkan sangat sulit. Akan tetapi, sebagai pendidik, kita diberikan tugas untuk dapat membentuk calon-calon penerus bangsa yang memiliki karakter jujur, berkeadilan, bertanggung jawab, peduli dan saling menghormati.


 Landasan Budaya Positif yang Berpihak Pada Murid

Setelah memahami urgensi dari budaya positif di sekolah, sekarang Anda akan mempelajari lebih mendalam mengenai budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid. Untuk membahas konsep budaya positif, kita perlu mengetahui definisi budaya sekolah. 

Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian. 

Dari kedua pengertian tersebut kita melihat bahwa budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah. Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam, dan sapa. Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman. 

Dalam modul ini, yang dimaksud dengan budaya positif di sekolah ialah  nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, selanjutnya, Anda akan mempelajari dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.

 Posisi Kontrol Guru

Penting bagi guru untuk memahami bagaimana guru harus memposisikan diri saat berhadapan dengan murid. Oleh karena itu, dalam sesi ini Anda akan mempelajari lebih dalam dengan melakukan refleksi “Guru seperti apakah kita selama ini?”. Dalam komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan sebagai penggerak utama. Hal ini mewujudkan juga adanya kontrol guru dalam proses belajar mengajar.

Renungkanlah pertanyaan berikut ini: Posisi kontrol guru seperti apa yang dapat mewujudkan budaya positif di sekolah? Selama menjadi guru, sudahkah kita memposisikan diri kita secara tepat? Mari simak video berikut ini untuk lebih memahami Posisi Kontrol Guru.

Silahkan kik di sini untuk menonton video

Dalam hal ini kita tidak sedang menyalahkan salah satu situasi. Coba kita ingat ketika kita menjadi murid dulu. Pernahkah kita merasakan perasaan yang sama seperti Anton? Merasa kesal karena dihukum, merasa malu karena dipermalukan di depan kelas, merasa diawasi terus. Bedakan dengan guru pada kejadian 5. Apa yang dirasakan Anton? Betul! Merasa didengarkan.

Untuk mengetahui lebih jelas hubungan guru dan murid berikut penjelasan posisi kontrol guru dalam video yang kita tonton sebelumnya.


Posisi kontrol manajer

Dalam menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinstik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu  diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.

Disiplin Positif sebagai Landasan untuk Membangun Budaya Positif di Sekolah

Sebelum konsep ini dikupas tuntas, kita perlu mengetahui perbedaan antara disiplin dan hukuman.

Disiplin dan Hukuman

Masih ingatkah  dengan video pada sesi Posisi Kontrol Guru? Ingatkah Anda terhadap guru Anton pada situasi pertama? Apa yang dilakukan guru tersebut ketika mengetahui Anton tidak mengerjakan tugas? Betul! Guru tersebut menghukum Anton.

Kita seringkali memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pen-disiplin-an dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid. Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid.

Disiplin dan Hukuman

Pada umumnya orang sering melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', namun disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda. Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku  murid, disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.

Tujuan akhir dari disiplin adalah agar murid memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain.

Perhatikanlah gambar berikut ini.


Sumber: Positive Discipline and Classroom Management (CJPC, 2012)

Berdasarkan gambar tersebut, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

  1. Kejadian apa yang terekam dalam gambar tersebut?
  2. Apakah orang dewasa pada gambar tersebut sedang menerapkan disiplin atau memberikan hukum? Jelaskan!
  3. Apa dampak psikologis bagi anak yang ada di gambar?


Hukuman dan konsekuensi

Anda mungkin menyimpan pertanyaan,  “jika tidak ada hukuman, maka  bagaimana menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan?”  Mari kita menyamakan persepsi bahwa pelanggaran atau kesalahan adalah kesempatan anak untuk belajar. Jika ditangani dengan tepat, kesalahan dapat menjadi momen yang baik agar anak mengetahui hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan lagi di masa mendatang. Anak juga akan lebih bertanggung jawab serta mengetahui bagaimana memperbaiki situasi yang dihadapinya. Menurut Nelsen (2021), berikut adalah cara kita merespon kesalahan agar menjadi pembelajaran yang baik bagi anak.

Merespon kesalahan dengan kasih sayang dan kebaikan dibanding menyalahkan, menuduh dan menceramahi. 

Jika diperhatikan dengan seksama, ketiga cara diatas lebih mengedepankan konsekuensi daripada hukuman. Mengapa konsekuensi lebih dipilih untuk mewujudkan budaya positif dibanding hukuman? Hukuman bersifat satu arah dari guru ke murid dan seringkali tidak berhubungan dengan kesalahan murid. Sedangkan menurut Nelsen (2021), prinsip konsekuensi fokus pada masalah dan solusi sehingga konsekuensi berhubungan dengan perilaku, penuh hormat kepada murid, bersifat masuk akal dan bertujuan untuk membantu murid belajar.

2.2.2.2 Disiplin Positif

Disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung (Nelsen, Lott & Glenn, 2000). Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat  dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya). Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.

A. Kriteria Utama Disiplin Positif

Untuk melakukan pendekatan disiplin positif, Bapak/Ibu Calon Guru Penggerak perlu menjadikan kriteria disiplin positif yang dikembangkan oleh Nelsen (2021) ini sebagai panduan dalam membangun hubungan dengan murid.

  1. Bersikap baik dan tegas di saat yang bersamaan (menunjukkan sikap hormat dan memberi semangat).
  2. Membantu murid merasa dihargai dan memiliki keterikatan antara dirinya dengan guru dan teman di kelasnya, sehingga ia merasa menjadi bagian dari kelas.
  3. Memiliki komitmen untuk mempertimbangkan efektivitas dan dampak jangka panjang bagi proses belajar murid dari tindakan yang diambil (misalnya; pemberian hukuman bersifat dapat menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, tetapi berpotensi memberikan dampak negatif dalam proses belajar pada anak yang bersifat jangka panjang). Dengan begitu, pendidik fokus pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, bukan hanya pada perilaku yang berhasil ditampakkan pada saat itu.
  4. Menerapkan disiplin positif berarti membekali murid dengan keterampilan sosial dan mendukung pertumbuhan karakter yang baik seperti rasa hormat, kepedulian terhadap orang lain, komunikasi yang efektif, pemecahan masalah, tanggung jawab kontribusi, kerja sama.
  5. Mengajak murid untuk menemukan bagaimana mereka mampu dan dapat menggunakan kekuatan diri mereka dengan cara yang membangun.

B. Penerapan Disiplin Positif di Sekolah dengan Pendekatan Holistik

Menerapkan pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Murid cenderung menjadikan orang dewasa sebagai model; jika  murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis, mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada kemungkinan mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada  murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan informasi dan alat untuk mempraktekkan disiplin positif di rumah.

2.3.1 Membuat Kesepakatan Kelas sebagai Langkah Awal dalam Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid

Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif  di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.

  Sebelum Anda mempelajari lebih mendalam mengenai kesepakatan kelas, renungkanlah dua pertanyaan berikut ini: Apakah selama ini Anda sudah menerapkan pemberian kesepakatan kelas di sekolah Anda? Siapa saja yang turut berperan dalam menentukan kesepakatan kelas?

Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.

Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. 

Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”. 

Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.

Video panduan menyusun kesepakatan kelas

Silahkan klik di sini untuk menonton video

2.3.2 Menciptakan Visi Sekolah untuk Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid

Upaya berikutnya dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid adalah mengembangkan visi bersama tentang apa yang ingin dicapai sekolah. Daripada berfokus pada masalah dan perilaku buruk, ada baiknya Anda mulai dengan melihat hal-hal positif yang sudah berhasil di sekolah. Ini memberikan landasan untuk membangun visi bersama bagi komunitas sekolah yang berpusat pada diri murid dan pemberdayaannya.

Langkah untuk mendukung pemikiran dasar ini adalah memutuskan pihak yang dapat Anda ajak diskusi mengenai cara bagaimana sekolah dapat membawa visi tersebut menjadi kenyataan. Ingatlah kembali visi mengenai sekolah impian yang Anda ceritakan pada tahap Mulai dari Diri dalam modul 1.3. Di sana Anda sudah memiliki cita-cita mengenai kondisi sekolah ideal. Apakah visi tersebut sudah sejalan dengan pemahaman mengenai budaya positif yang kita pelajari dalam modul ini?

Visi yang dikembangkan harus mendukung hal-hal berikut ini:

  • Penciptaan lingkungan belajar yang ramah murid yaitu tempat yang di dalamnya baik murid, pendidik, maupun orang tua merasa dihargai dan didukung; serta tempat yang dapat membuat murid merasa bebas untuk mengekspresikan pandangan mereka dan didorong penuh untuk mencapai potensi yang mereka miliki.
  • Pengajaran dan penguatan positif yang bertujuan untuk membangun hubungan yang saling peduli dan menghormati.
  • Kebijakan dan strategi untuk mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima yang melibatkan semua pemangku kepentingan yaitu, pendidik, orang tua, murid dan manajemen sekolah.

Hal-hal di atas jelas memperlihatkan bahwa untuk membangun budaya positif, keterlibatan guru, murid, manajemen sekolah dan orang tua sangat diperlukan. Semuanya harus bahu membahu dalam membangun budaya positif di sekolah.


Koneksi antar materi : 



Aksi Nyata : 

Modul 1.3 Visi Guru Penggerak

 Menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Mungkin saja, sebagian dari Bapak/Ibu juga menuliskan mimpi itu pada gambaran visinya. Namun, dalam prakteknya, kalimat tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan. Perlu perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Inilah salah satu tujuan visi, yaitu untuk mencapai perubahan yang lebih baik dari kondisi saat ini. Visi membantu kita untuk melihat kondisi saat ini sebagai garis “start” dan membayangkan garis “finish” seperti apa yang ingin dicapai. Ini bagaikan seorang pelari yang perlu mengetahui garis “start” dan garis “finish” bahkan sebelum ia benar-benar berlari melintasi jalur lari tersebut.

Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah. 

Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat bertahap. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, Bapak/Ibu CGP hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain yang berada di dalam pengaruh Anda untuk menjalani proses perubahan ini bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah.

Visi : Mengelola Perubahan Yang Positif

Untuk dapat mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Kita akan memakai pendekatan IA sebagai ‘alat olahraga’ untuk kita berlari mencapai garis “finish” kita yaitu visi yang kita impikan.

Dalam sebuah video di Youtube, Cooperrider, yang adalah tokoh yang mengembangkan IA, menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.

IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Menurut Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Dalam video di Youtube tersebut, Cooperider juga menceritakan bahwa pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Peter Drucker, seorang Begawan dalam dunia kepemimpinan dan manajemen. Menurut Drucker, kepemimpinan dan manajemen adalah keabadian. Oleh sebab itu, seorang pemimpin bertugas menyelaraskan kekuatan yang dimiliki organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem dalam organisasi menjadi tidak relevan, karena semua aspek dalam organisasi fokus pada penyelarasan kekuatan.

Di sekolah, pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada di sekolah, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan, kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif yang telah ada, sekolah kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi sekolah dan visi setiap warga sekolah. 

Perubahan yang positif di sekolah tidak akan terjadi jika pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi sekolah saat ini diawali dengan permasalahan yang terjadi atau mencari aktor sekolah yang melakukan kesalahan. Pertanyaan yang sering diajukan adalah, “Mengapa capaian hasil belajar siswa rendah?”, “Apa yang membuat rencana kegiatan sekolah tidak berjalan lancar?”, dan lain sebagainya. Motivasi untuk melakukan perubahan tentu akan berangsur menurun jika diskusi diarahkan pada permasalahan. Suasana psikologis yang terbangun tentu akan berbeda jika pertanyaan diawali dengan pertanyaan positif seperti ini :

  • Hal-hal baik apa yang pernah dicapai murid di kelas?
  • Apa hal menarik yang dapat dipetik pelajarannya dari setiap guru di kelas?
  • Bagaimana mengembangkan praktik baik setiap guru untuk dipertahankan sebagai budaya sekolah?

BAGJA

Klik di sini untuk menonton videonya





Inilah langkah-langkah yang perlu Anda ikuti dalam menerapkan perubahan sesuai dengan visi yang Anda telah impikan berdasarkan tahapan BAGJA. Tahap pertama, Buat Pertanyaan Utama. Di tahap ini, Anda merumuskan pertanyaan sebagai penentu arah penelusuran terkait perubahan apa yang diinginkan atau diimpikan. Tahap kedua, Ambil Pelajaran. Pada tahapan ini, Anda mengumpulkan berbagai pengalaman positif yang telah dicapai di sekolah dan pelajaran apa yang dapat diambil dari hal-hal positif tersebut. Tahap ketiga, Gali Mimpi. Pada tahapan ini, Anda dapat menyusun narasi tentang kondisi ideal apa yang diimpikan dan diharapkan terjadi di sekolah. Disinilah visi benar-benar dirumuskan dengan jelas. Tahap ketiga, Jabarkan Rencana. Di tahapan ini, Anda dapat merumuskan rencana tindakan tentang hal-hal penting apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan visi. Tahapan terakhir, Atur Eksekusi. Di bagian ini, Anda memutuskan langkah-langkah yang akan diambil, siapa yang akan terlibat, bagaimana strateginya, dan aksi lainnya demi mewujudkan visi perlahan-lahan.

Melukis Visi Sekolah Impian

Gambar Peta Kekuatan

Merekomendasikan “Strategi Pengenalan Kekuatan dan Potensi Murid”

Sebagai pendidik, merupakan hal yang lumrah terjadi ketika perhatian kita lebih banyak tertuju pada murid yang secara akademik berprestasi atau malah lebih memfokuskan perhatian pada murid ‘bermasalah’ atau murid yang mengalami kesulitan untuk dididik. Namun, seringkali kita lupa bahwa mayoritas murid yang kita miliki adalah murid-murid yang tampak biasa saja. Murid-murid ini memiliki kemungkinan untuk kita abaikan karena tidak ada hal menonjol yang mereka miliki. Namun, perlu ada perubahan dalam memandang mereka dan mendidik mereka. Ingat kembali tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Pedoman ini adalah Profil Pelajar Pancasila  yang diharapkan menjadi pegangan untuk para pendidik di ruang belajar yang lebih kecil. Profil ini tidak hanya dimiliki oleh murid berprestasi secara akademik atau murid yang menonjol dalam bakat lainnya, profil pelajar Pancasila ini diharapkan dimiliki oleh seluruh murid Anda di dalam kelas.

Oleh karena itu, pada Tugas Individu kali ini, Bapak/Ibu diminta membuat rancangan tindakan perubahan berdasarkan tahapan B-A-G-J-A untuk mulai mengubah arah didikan dengan lebih adil dan berpihak pada murid, khususnya pada murid yang selama ini jarang diperhatikan. Temukan potensi dan kekuatan yang mereka miliki serta temukan juga hal baru apa yang dapat Anda lakukan untuk menggali potensi mereka.

Tabel BAGJA : https://docs.google.com/document/d/1d05Pln_Ik0ZXajwh98La6QFHDGcGzaB8/edit?usp=sharing&ouid=102538372951153165023&rtpof=true&sd=true

Kesimpulan Modul 1.3 

https://docs.google.com/document/d/1jAJ30Uh8gtsfOqWl8WbjQZOBTeMS_vF6/edit?usp=sharing&ouid=102538372951153165023&rtpof=true&sd=true

Meningkatkan kecerdasan majemuk anak melalui permainan yang beragam (disusun dalam rangka penyelesaian tugas penerapan IA)

https://drive.google.com/file/d/1d05Pln_Ik0ZXajwh98La6QFHDGcGzaB8/view?usp=sharing

Koneksi Antar Materihttps://drive.google.com/file/d/1Lra_iCLbb2nbA3crWmvEad__wE8uhpon/view?usp=sharing

Ki Hajar Dewantara dalam majalah “Keloearga” tahun 1937 menyatakan sebuah frasa “peralatan pendidikan”. Beliau menjelaskan, peralatan pendidikan merupakan cara-cara mendidik yang beragam bentuknya. Namun, beliau membaginya menjadi 6 cara utama sebagai berikut:

  1. memberi contoh
  2. pembiasaan
  3. pengajaran
  4. perintah, paksaan dan hukuman
  5. laku
  6. pengalaman lahir dan batin

Beliau menyatakan bahwa alat-alat itu tidak perlu dipergunakan semua. Beliau pun menyampaikan bahwa ada yang tidak sepakat terutama dengan penggunaan cara nomor 4. Beliau pun menyatakan penggunaan cara-cara tersebut harus dihubungkan dengan jenjang usia dan perkembangan murid yang merupakan kodrat mereka.

Dari pernyataan Ki Hajar Dewantara tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa prakarsa yang Anda telah buat dalam bentuk rencana manajemen perubahan berdasarkan pendekatan IA, dimaksudkan untuk menumbuhkan murid yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Kemudian, tindakan untuk mewujudkan pertumbuhan murid ini perlu diejawantahkan dalam cara mendidik yang beragam dan disesuaikan dengan kondisi murid maupun situasi di sekolah Anda.








Modul 3.1 Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

 Simak video tentang perbedaan antara dilema etika dengan bujukan moral berikut ini :


Silahkan klik untuk menonton video

4 Paradigma Dilema Etika




Video Kasus Membantu Kakek

Pertanyaan :

    1. Siapa yang menghadapi dilema?
    2. Apakah dua kebenaran yang ada?

      • Adalah benar jika tokoh tersebut ... karena ... 
      • Tapi benar juga jika dia  ...  karena ...

    1. Paradigma mana yang terjadi pada masing-masing dilema?

    Dilema .... lawan ...

    1. Dapatkah lebih dari satu dilema, berlaku untuk cerita yang sama? Bila iya, yang manakah dan mengapa?


    Video Kasus Terlambat Mengembalikan Buku

    Pertanyaan :

      1. Siapa yang menghadapi dilema?
      2. Apakah dua kebenaran yang ada?

        • Adalah benar jika tokoh tersebut ... karena ... 
        • Tapi benar juga jika dia  ...  karena ...

      1. Paradigma mana yang terjadi pada masing-masing dilema?

      Dilema .... lawan ...

      1. Dapatkah lebih dari satu dilema, berlaku untuk cerita yang sama? Bila iya, yang manakah dan mengapa?


      Video Kasus Les Tambahan

      Pertanyaan :

        1. Siapa yang menghadapi dilema?
        2. Apakah dua kebenaran yang ada?

          • Adalah benar jika tokoh tersebut ... karena ... 
          • Tapi benar juga jika dia  ...  karena ...

        1. Paradigma mana yang terjadi pada masing-masing dilema?

        Dilema .... lawan ...

        1. Dapatkah lebih dari satu dilema, berlaku untuk cerita yang sama? Bila iya, yang manakah dan mengapa?


        Video Kasus Pengumpulan Dana

        Pertanyaan :

          1. Siapa yang menghadapi dilema?
          2. Apakah dua kebenaran yang ada?

            • Adalah benar jika tokoh tersebut ... karena ... 
            • Tapi benar juga jika dia  ...  karena ...

          1. Paradigma mana yang terjadi pada masing-masing dilema?

          Dilema .... lawan ...

          1. Dapatkah lebih dari satu dilema, berlaku untuk cerita yang sama? Bila iya, yang manakah dan mengapa?

          Prinsip Pengambilan Keputusan

          Etika terkait dengan karsa karena manusia memiliki kesadaran moral. Akal dan moral dua dimensi manusia yang saling berkaitan. Etika terkait dengan karsa karena manusia memiliki kesadaran moral.
          (Rukiyanti, L. Andriyani, Haryatmoko, Etika Pendidikan, hal. 43).


          Dari kutipan di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa karsa merupakan suatu unsur yang tidak terpisahkan dari perilaku manusia.  Karsa ini pun berhubungan dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dianut oleh seseorang, disadari atau pun tidak. Nilai-nilai atau prinsip-prinsip inilah yang mendasari pemikiran seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang mengandung unsur dilema etika. 

          Silakan Anda membaca 3 (tiga) pernyataan di bawah ini: 

          1. Melakukan, demi kebaikan orang banyak.
          2. Menjunjung tinggi prinsip-prinsip/nilai-nilai dalam diri Anda.
          3. Melakukan apa yang Anda harapkan orang lain akan lakukan kepada diri Anda. 

          Selama ini pada saat mengambil keputusan, landasan pemikiran Anda memiliki kecenderungan pada prinsip nomor 1, 2, atau 3? Silakan tanpa berpikir panjang, Anda langsung menuliskan jawaban Anda di secarik kertas.

          Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Dalam seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu  dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:

          1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
          2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
          3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)


          Video Prinsip 1 : Kasus Kapten


          Video Prinsip 2 : Kasus Janji Ani


          Prinsip 3 : Deontologis

          9 Langkah Pengujian dan Pengambilan Keputusan


          Silahkan pilih video yang akan dicermati :

          1. Kasus Dilema Siti

           

          2. Amir adalah siswa kelas 4 yang santun dan memiliki guru Matematika yang sangat tegas dan keras, bernama Bapak Asep. Suatu hari bapak Asep masuk ke dalam kelas dan mulai mengajar, tanpa disadari pak Asep ada cabe yang terselip di gigi pak Asep. Cukup terlihat dan jelas. Semua siswa menyadarinya namun tidak ada yang berani untuk mengatakan kepada Bapak Asep yang terkenal tegas dan keras terhadap siswa-siswa tersebut. Sepanjang pembelajaran 2 sesi tersebut, Bapak Asep terus mengajar dengan sisa cabe di giginya, apa yang akan lakukan bila Anda adalah Amir, mengapa? Prinsip apa yang akan Anda gunakan?

          3. 

          Kasus apa yang harus aku lakukan

          4.

          Kasus Kertas Contekan

          5.

           Kasus Keuangan OSIS

          6. 

          Kasus Janji Ani

          7. Ina adalah siswa kelas 11. Untuk merayakan kenaikan kelas ke kelas 12, Ina dan beberapa temannya akan berkumpul bersama di rumah temannya dan menonton film-film drama Korea dari salah satu laptop teman-temannya. Kebetulan di rumah temannya tersebut, orang tuanya akan pergi seminggu tugas ke luar kota, jadi Ina dan teman-temannya sangat bergembira bisa mendapatkan kesempatan untuk bersama di akhir tahun ajaran. Untuk membiayai ‘pesta kenaikan kelas kecil’ di rumah temannya tersebut, Ina dan teman-temannya sepakat untuk membayar 100,000,- setiap orang. Ina pun telah memberitahu ibunya bahwa dia akan menggunakan uang untuk perayaan kenaikan di rumah temannya. Namun ibunda Ina berubah pikiran karena merasa uang sebesar Rp. 100,000,- bisa digunakan untuk membayar buku-buku dan seragam Ina di kelas 12 nanti. Akhirnya ibunda Ina melarang Ina pergi dan meminta Ina untuk menggunakan uang untuk membeli seragam dan buku-buku sekolah yang diperlukan. Ina rupanya tetap ingin merayakan pesta kenaikan kelas di rumah temannya, ia pun telah menabung sekian bulan dari uang jajannya untuk bisa menyisihkan uang 100,000,-. Akhirnya malam itu Ina tetap pergi ke rumah temannya namun izin untuk bikin tugas kelompok kepada ibunda. Ina hanya memberitahu adiknya, Zahra bahwa dia sesungguhnya pergi ke rumah temannya dan menghabiskan uang 100,000,- untuk merayakan kenaikan kelas. Setelah sekian bulan, ibunda Ina tiba-tiba menanyakan ke Zahra, apakah dia mengetahui apakah kakaknya telah membayar uang sekolah. Apakah yang akan dikatakan Zahra, mengapa? Prinsip apa yang diambil?

          8. 

          Kasus Obat untuk Ibu

          9. 

          Kasus Pengaturan Tempat Duduk di Kelas

          Refleksi Terbimbing : https://docs.google.com/document/d/1FobkGrKD4vZ8Y8uI8-AdQQ83Ds8u1zqEHYrAkvZO63c/edit?usp=sharing

          Demonstrasi Kontekstual : https://docs.google.com/document/d/1IYigNeCsE2bJHsf6nmZSi2v0N7j_UUwK9ze6dcDG7TU/edit?usp=sharing

          Elaborasi Pemahaman :